Suara Hati
Arti dan
Fakta Adanya Suara Hati
Pembicaraan
tentang sikap moral otonom pada akhir bab yang lalu membawa kita pada topik
pembicaraan dalam bab ini, yakni suara hati, karena suara hati seringkali
disebut sebagai pangkal otonomi manusia. Apa arti pernyataan ini, akan menjadi
jelas nanti setelah kita menyadari arti dan fakta adanya suara hati sendiri.
1.1. Arti
Secara
harafiah, suara hati adalah suara yang berasal dari kedalaman hati atau pusat
kedirian seseorang dan yang menegaskan benar-salahnya suatu tindakan atau
baik-buruknya suatu kelakuan tertentu berdasarkan suatu prinsip atau norma
moral. Suara itu sering dikaitkan pula dengan suara yang berasal dari luar diri
manusia dan sekaligus mengatasi kewenangan manusia untuk menolak atau mengabaikannya.
Dalam kaitan dengan ini, suara hati seringkali disebut suara Tuhan sendiri.
Seperti pernah dinyatakan oleh John Henry Newman (1801-1890), karena sifat
kemutlakan penegasan atau tuntutannya, suara hati merupakan suatu gejala
manusiawi yang mengatasi keterbatasan manusia dan menunjuk pada realitas yang
mengatasi manusia, yakni Allah sendiri sebagai Yang Mutlak. Demikianlah dalam
gejala suara hati sekaligus ditemukan unsur dari dalam diri seseorang yang amat
pribadi dan unsur dari luar yang mengatasi kewenangan manusia untuk menolak
atau mengabaikannya. Suara hati memiliki ciri personal dan adi personal.
Secara
etimologis, suara hati, yang dalam bahasa Latin disebut conscientia,
berasal dari akar kata conscire yang berarti “mengetahui bersama” atau “turut
mengetahui”. Suara hati adalah instansi yang “turut mengetahui”
perbuatan-perbuatan moral kita dan menjatuhkan penilaian terhadapnya. Suara
hati menjadi “saksi” dan sekaligus “hakim” yang menjatuhkan penilaian dan
putusan atas perbuatan-perbuatan kita. Penegasan suara hati mendasarkan diri
pada pengetahuan tentang hukum moral yang bukan ciptaan atau berasal dari
manusia sendiri, melainkan suatu hukum yang sudah ditetapkan atau digoreskan
dalam hati setiap insan oleh Sang Pencipta. Manusia sebagai makhluk rasional
ambil bagian dalam pengetahuan atau kebijaksanaan Sang Pencipta. Inilah yang
membuat manusia sadar dan bebas. Berkat rasionalitasnya, manusia menyadari
bahwa hukum yang ditetapkan dari luar oleh Sang Pencipta itu sekaligus
merupakan ketetapannya sendiri dari dalam. Inilah yang menjamin kebebasannya.
Manusia dalam arti tertentu menetapkan hukum untuk dirinya sendiri.
Suara
hati secara ringkas dapat dirumuskan sebagai kesadaran manusia akan kewajiban
moralnya dalam situasi kongkrit atau penegasan tentang benar-salahnya suatu
tindakan manusia dalam situasi tertentu berdasarkan hukum moral. Sebagai suatu
kesadaran, suara hati mengandaikan adanya pertimbangan akalbudi, dan bukan
sekedar ungkapan perasaan spontan belaka. Kesadaran tersebut memang seringkali
bersifat spontan, dalam arti munculnya tidak dapat dikendalikan menurut kemauan
seseorang dan merupakan suatu endapan kesadaran akan nilai yang sudah
dibatinkan sejak kecil. Kesadaran tersebut menegaskan apa yang menjadi
kewajiban moral (tindakan mana yang baik yang harus/wajib dilakukan dan mana
yang buruk yang harus/wajib dihindarkan) oleh seseorang dalam situasi kongkrit.
Suara hati menjadi pedoman atau pegangan moral manusia dalam situasi konkret
saat ia harus mengambil keputusan untuk bertindak.
1.2. Fakta
adanya suara hati
Fakta
adanya suara hati menjadi nyata dalam gejala munculnya kesadaran akan kewajiban
moral yang secara mutlak dan tidak dapat ditawar-tawar (istilah Kant “kategorisch”)
dalam diri seseorang berhadapan dengan situasi kongkrit tertentu yang menuntut
pengambilan sikapnya sebagai manusia. Sebagai contoh, misalnya Susi yang masih
duduk sebagai mahasiswi semester tiga jurusan Hukum di suatu PTN terkenal di
Yogya, akibat pergaulan bebasnya ternyata mengandung. Andi, teman prianya, yang
tidak lain adalah teman kuliahnya sendiri, tidak mau bertanggung-jawab. Susi
menjadi bingung dan kecewa sekali. Ibunya, seorang Katolik yang cukup saleh,
sewaktu diberitahu mengenai kejadian yang menimpa anaknya, amat kaget dan sedih
sekali. Ia merasa malu sekali, tetapi bagaimanapun juga ia tidak mau anaknya
menggugurkan kandungan itu, karena baginya itu suatu dosa besar, yakni membunuh
manusia lemah yang tidak bersalah. Tetapi, akhirnya atas desakan pacar dan
bapaknya sendiri (yang tidak mau aib keluarganya sampai terbuka) Susi
menggugurkan kandungannya. Setelah kejadian itu Susi terus menerus dihantui
oleh rasa salah dan merasa kasihan sekali pada ibunya yang sering nampak sedih.
Meskipun ia tidak sesaleh ibunya, dalam hati kecil dia pun menyadari bahwa
menggugurkan kandungan itu secara moral tidak dapat dibenarkan, karena itu
berarti ia lari dari tanggungjawab atas perbuatannya sendiri sambil
mengorbankan pihak lemah yang tidak bersalah. Kenyataan bahwa dengan
digugurkannya kandungan itu ia sekarang masih dapat melanjutkan kuliah dan
bahwa ada juga teman lain yang berbuat begitu, sama sekali tidak dapat
menghilangkan rasa salah yang terus meng-hantuinya.
Inilah
contoh fakta adanya suara hati. Sebagai kesadaran seseorang akan kewajiban
moralnya dalam situasi kongkrit, dalam kasus di atas, suara hati menyatakan
diri sebagai semacam suara yang dengan penuh otoritas (kewenangan dan
kewibawaan) menegur atau bahkan mencela perbuatan Susi menggugurkan
kandungannya. Celaan dari dalam hati itu menimbulkan rasa salah, sedih dan
kecewa pada dirinya; ia tidak dapat mengingkari kenyataan bahwa ia telah gagal
memenuhi kewajiban moralnya sebagai manusia. Suara hati dapat juga menyatakan
diri sebagai semacam suara yang dengan penuh otoritas mengesahkan, memuji, atau
mendorong seseorang untuk secara positif melaksanakan kewajiban moralnya. Suara
macam itu membawa kegembiraan, kepuasan, keberanian dan peneguhan bagi si
pelaku moral. Pilihan dan keputusan hatinya untuk melakukan apa yang sesuai
dengan kewajiban moralnya itu bisa jadi memuat risiko pengorbanan dan kesulitan
yang harus dihadapi. Suara hati di sini berfungsi sebagai penguat dan peneguh,
sehingga orang tidak gentar untuk menanggung risiko tersebut.
Sebagai
contoh, misalnya dalam kasus di atas, seandainya Susi kuat dalam pendiriannya
bahwa menggugurkan kandungannya hanya karena mau menutupi aib keluarga dan
bebas dari kerepotan yang ditimbulkannya itu secara moral tidak dapat
dibenarkan dan, meskipun harus menanggung malu, dan ada kemungkinan tidak hanya
kena dampratan bapaknya tetapi juga tidak lagi diakui sebagai anak, ia tetap
tidak mau menggugurkan kandungannya, maka ia akan mengalami bagaimana suara
hatinya berfungsi positif. Ia akan diajak untuk berani mengakui kesalahannya
dan menanggung risiko perbuatannya. Kalau ia berhasil mengalahkan macam-macam
godaan untuk melarikan diri dari tanggungjawab moralnya, maka ia akan merasakan
bagaimana suara hatinya meneguhkan dan menguatkan langkahnya. Kendati bukan
tanpa tantangan dan kesulitan, ia akan memperoleh rasa aman atau kedamaian
batin yang mendalam, karena ia tidak kehilangan harapan.
Suara
hati dapat dikatakan menjadi pangkal otonomi manusia, karena sebagai kesadaran
langsung akan apa yang menjadi kewajibannya sebagai manusia dalam situasi
kongkrit, suara hati menegaskan kebebasan manusia, yakni kemampuannya untuk
menentukan diri lepas dari penentuan pihak luar. Seperti sudah dinyatakan dalam
pembicaraan tentang kebebasan dan kewajiban moral, manusia menghayati
kebebasannya secara mendalam justru dalam berhadapan dengan kewajiban moralnya,
karena di situ ia ditantang untuk memilih atau tidak memilih apa yang sesuai
dengan tuntutan kodratnya sendiri sebagai manusia, apa yang bernilai dalam
dirinya sendiri. Dengan kata lain, berhadapan dengan kewajiban moral manusia
ditantang untuk menentukan dan mewujudkan dirinya sebagai manusia.
Dalam
proses menentukan dan mewujudkan diri itu, sebagai makhluk sosial, manusia
memang perlu mendengarkan dan memperhatikan suara atau pertimbangan orang lain
di sekitarnya, dan tidak dapat bertindak semaunya sendiri. Akan tetapi,
akhirnya keputusan terakhir terletak di tangannya, dan untuk pedoman
pengambilan keputusan ini, apa yang wajib dia ikuti adalah apa yang dinyatakan
oleh suara hatinya sendiri sebagai kewajiban moralnya saat itu. Apa yang
disadari sebagai kewajiban moralnya saat itu atau apa yang akhirnya ditegaskan
oleh suara hatinya, dapat terjadi bahwa tidak sesuai atau bahkan bertentangan
dengan pendapat banyak orang di sekitarnya. Apa yang disadari sebagai kewajiban
moral dalam situasi kongkrit juga dapat berlawanan dorongan perasaan spontannya
sendiri. Dorongan perasaan spontan manusia biasanya lebih banyak digerakkan
oleh prinsip senang tidak senang, enak tidak enak, atau mana yang secara
pribadi langsung menguntungkan mana yang tidak. Penegasan suara hati yang mampu
mengalahkan godaan untuk sekedar ikut arus masa dan mengikuti dorongan spontan
tersebut menampakkan kebebasan manusia dari kungkungan nafsu-nafsunya sendiri.
Karena penegasan suara hati dapat terjadi juga bahwa bertentangan dengan
perintah, larangan, atau pun kebiasaan yang berlaku dalam masyarakat, dalam
kejadian seperti itu justru semakin menjadi nyata bahwa suara hati memang
menjadi pangkal otonomi manusia.
2.
Kemutlakan Suara Hati
Dari
pengkajian tentang fakta adanya suara hati di atas, menjadi nyata bahwa ciri
pokok pertama yang menandai suara hati adalah sifat kemutlakannya. Artinya, apa
yang ditegaskan oleh suara hati (entah itu berupa celaan dan teguran atau
berupa peneguhan) tetap tidak dapat ditawar-tawar keberlakuannya. Mengambil
ilustrasi di atas, kesadaran Susi bahwa tindakan menggugurkan kandungannya itu
salah secara moral, tetap tidak dapat dia tawar-tawar. Kendati ia tolak pun
kesadaran tersebut tetap menyatakan dirinya, yakni berupa rasa salah yang terus
mengejarnya. Sifat kemutlakannya terlihat misalnya dalam kenyataan bahwa suara
yang menegur dalam hatinya itu tidak dapat dibungkam oleh
pertimbangan-pertimbangan yang sepintas dirasa menguntungkan untuk diri dan
keluarganya (misalnya bahwa itu akan menutup aib keluarga, membuat dia dapat
melanjutkan kuliah, menyenangkan hati ayah dan pacar).
Kemutlakan
tuntutan suara hati juga menampakkan diri dalam kenyataan bahwa suara tersebut
juga tidak dapat diajak berdamai dengan pertimbangan bahwa orang lain pun ada
yang menggugurkan kandungannya sebagaimana dilakukan oleh Susi. Kenyataan bahwa
sesuatu itu cukup umum dilakukan orang, tidak dengan sendirinya menjamin bahwa
tindakan itu pasti dapat dibenarkan secara moral. Kewajiban moral untuk
bertanggungjawab atas perbuatannya dan tidak mengorbankan pihak yang lemah yang
tidak bersalah (y.i. janin dalam kandungannya) demi keuntungan atau keenakan
hidup bagi dirinya sendiri, disadari oleh Susi sebagai kewajiban yang mengikat
dirinya secara mutlak dan tidak dapat ditawar-tawar, karena dari keputusannya
untuk melaksanakan atau tidak melaksanakan kewajiban tersebut akan menjadi
nyata kualitas pribadinya sebagai manusia.
Di
atas telah secara sepintas dikemukakan bahwa sifat kemutlakan suara hati inilah
yang seringkali menyebabkan orang menyebutnya sebagai suara Tuhan sendiri.
Sebutan ini kiranya perlu dimengerti secara lebih kritis. Tuntutan suara hati
memang bersifat mutlak, dan kemutlakan ini, seperti pernah dikemukakan oleh
John Henry Newman, tidak dapat diterangkan melulu dari realitas kita sebagai
manusia, makhluk yang nisbi dan terbatas ini. Kemutlakan itu pasti berasal dari
Yang Mutlak sendiri, yakni Tuhan. Kemutlakan suara hati menunjuk pada realitas
Tuhan sebagai Yang Mutlak. Demikianlah, dalam suara hati unsur rasa kesadaran
akan kewajiban (sense of duty) yang berlaku mutlak, bagi Newman
merupakan jalan yang paling tepat untuk menegaskan adanya Tuhan. Walaupun
demikian suara hati tidak identik dengan suara Tuhan, karena suara hati,
sebagai ungkapan pemahaman dan kesadaran kita sendiri sebagai manusia yang
terbatas, seperti masih akan kita lihat lebih jauh di bawah, dapat keliru.
Padahal Tuhan tentunya tidak dapat keliru. Suara hati tetap merupakan ungkapan
pemahaman dan kesadaran yang terbatas dari manusia pemiliknya. Yang mutlak
adalah tuntutannya untuk melakukan apa yang disadarinya sebagai kewajiban moral
dalam situasi konkret, dan bukan bahwa isi kewajiban itu mutlak benar.
3.
Kekeliruan Suara Hati
Meskipun
tuntutan suara hati bersifat mutlak atau wajib diikuti, namun apa yang disadari
sebagai kewajiban moral oleh seseorang dalam situasi konkret yang ia hadapi itu
dapat saja keliru. Seperti sudah dikemukakan di depan, kendati karena sifat
kemutlakan tuntutannya, suara hati mengungkapkan sesuatu yang berasal dari Yang
Mutlak sendiri, suara hati itu juga merupakan ungkapan pemahaman dan kesadaran
moral yang terbatas atau tidak sempurna dari orang yang memilikinya. Suara hati
sebagai ungkapan pemahaman dan kesadaran moral manusia bukanlah sesuatu yang
bersifat bawaan dan tidak berubah sama sekali dalam arus perkembangan sejarah.
Peka atau tajam tidaknya suara hati seseorang dan tepat tidaknya dalam menilai
situasi moral yang dihadapinya, cukup tergantung dari pemahaman dan kesadaran
moral orang yang memilikinya. Tingkat kedewasaan, latar belakang keluarga,
pendidikan, status sosial, dan budaya seseorang misalnya ikut mewarnai
pemahaman dan kesadaran moralnya. Suara hati seseorang, yang erat terkait
dengan pemahaman dan kesadaran moralnya, dipengaruhi dan dibentuk oleh
lingkungan tempat ia lahir dan dibesarkan.
Kenyataan
adanya pengaruh lingkungan dalam pembentukan suara hati ini tidak berarti bahwa
suara hati itu tidak lain hanyalah sekedar cerminan saja dari pemahaman dan
kesadaran moral yang secara faktual ada dalam lingkungan sosial seseorang. Di
atas sudah dijelaskan bagaimana suara hati itu menjadi pangkal otonomi manusia,
dan hal itu menjadi samakin nyata justru pada saat suara hati mampu menegaskan
apa yang secara moral wajib ia laksanakan, kendati tidak sesuai atau bahkan
bertentangan dengan perintah, larangan, dan kebiasaan yang ada dalam
masyarakatnya. Apa yang ditegaskan oleh suara hati merupakan sesuatu yang
sangat pribadi (tidak sama dengan melulu subjektif), tetapi sekaligus juga buah
pengaruh lingkungan yang telah melahirkan dan membentuk seseorang. Kekeliruan
mengenai isi kewajiban yang ditegaskan oleh suara hati dapat timbul. baik
karena pemahaman dan kesadaran moral yang diwarisi seseorang dari lingkungannya
itu secara objektif memang keliru, maupun karena ia keliru dalam mengerti apa
yang dia warisi.
Selain
karena pemahaman yang kurang atau tidak tepat, kekeliruan suara hati dalam
menegaskan apa yang menjadi kewajiban moral dalam situasi konkret juga dapat
disebabkan karena seseorang belum sepenuhnya bebas dari nafsu-nafsu yang
menguasai dirinya. Misalnya bagi orang yang sudah terlalu sering dan terus
ketagihan untuk memuaskan diri di tempat pelacuran, dapat terjadi bahwa lama
kelamaan suara hatinya tidak merasa terusik lagi, dan bahkan karena mekanisme
pembenaran diri (rasionalisasi) ia dapat menemukan alasan-alasan yang
sepertinya dapat membenarkan perbuatannya. Demikian pula kalau pemahamannya
tentang moralitas melulu terbatas pada hal-hal yang menyangkut seksualitas,
suara hatinya bisa jadi tidak peka terhadap berbagai pelanggaran moral di luar
bidang seksualitas. Misalnya dalam hal ketidakadilan, ketidakjujuran, dsb.
4.
Keraguan Suara Hati
Kenyataan
bahwa penegasan suara hati tentang apa yang secara konkret menjadi kewajiban
moral seseorang itu dapat keliru, dapat membuat orang mengalami keraguan
tentang mana sebenarnya yang menjadi kewajiban moralnya secara konkret.
Karena orang wajib mentaati apa yang ditegaskan oleh suara hatinya, bahkan
juga kalau nantinya setelah terlanjur dilakukan ternyata penegasan tersebut
keliru, dalam keadaan ragu-ragu, kalau keputusan masih dapat ditunda, dia
pertama-tama wajib untuk mencari tambahan informasi yang perlu untuk memperoleh
kejelasan tentang situasi yang sedang dihadapinya. Untuk ini sikap keterbukaan
dan kerelaan untuk bertanya kepada mereka yang dirasa lebih kompeten serta
kesediaan untuk meningkatkan pengetahuan, pemahaman dan kemampuan menilai dalam
perkara-perkara moral perlu dimiliki.
Keraguan
kadangkala sudah dapat diatasi dengan diperolehnya informasi yang memperjelas
dan membantu kita untuk secara lebih tepat menilai situasi. Namun kadangkala
keraguan tidak disebabkan oleh kurangnya informasi, tetapi karena sikap pribadi
orangnya yang memang peragu. Kalau ini penyebabnya, tentu saja usaha menambah informasi
saja tidak mencukupi. Bahkan tidak jarang terjadi bahwa bagi orang macam itu,
tambahnya informasi justru membuat dia semakin bingung. Sikap peragu, yang
dapat dikatakan sebagai salah satu kelemahan psikologis, cukup banyak
menghinggapi orang yang kepercayaan dan integritas pribadinya kurang, serta
orang yang perfeksionis. Pendidikan suara hati, seperti masih akan kita
bicarakan lebih lanjut, tentunya perlu melibatkan pula usaha untuk mengatasi
sikap peragu tersebut.
Kalau
keputusan sudah tidak dapat ditunda lagi, atau kalau setelah mencari tambahan
informasi dan melakukan banyak pertimbangan, orang juga masih tetap ragu-ragu,
para moralis umumnya menyetujui bahwa dalam situasi seperti itu orang bebas
untuk mengikuti pilihan manapun yang dia insafi sebagai paling baik. Seandainya
pilihan itu setelah dilaksanakan nantinya ternyata salah, kalau seluruh
prosedur pertimbangan yang secara wajar dituntut sudah ia lakukan, secara moral
ia tidak dapat dipersalahkan. Memang setelah menyadari kesalahannya, orang
wajib untuk meluruskan pemahaman dan penilaiannya, sehingga pada kesempatan
lain di kemudian hari ia tidak membuat kesa-lahan yang sama. Manusia dapat dan
perlu belajar pula dari kesalahannya.
5.
Pendidikan Suara Hati
Pembicaraan
tentang kemungkinan kekeliruan dan keraguan suara hati langsung membawa
kita ke pembicaraan tentang perlunya pendidikan suara hati. Dengan pendidikan
suara hati dimaksudkan usaha sadar untuk memperoleh, memperdalam, dan
mengembangkan pemahaman dan sikap moral kita, sehingga dalam menegaskan apa
yang menjadi kewajiban moral kita dalam situasi kongkrit, suara hati kita
dapat semakin tepat atau sesuai dengan norma dan kenyataan moral objektif.
Pendidikan ini akan melibatkan dimensi pengetahuan (kognitif), dimensi rasa
atau kepekaan hati (affektif), dimensi kehendak (konatif), maupun dimensi
pembiasaan berbuat baik.
Dalam
dimensi kognitif, pendidikan suara hati akan melibatkan usaha untuk bersedia
terus menerus belajar guna meningkatkan pengetahuan dan pengertian moral kita.
Untuk ini diperlukan sikap keterbukaan terhadap macam-macam pertimbangan serta
kemungkinan perlunya perubahan pandangan. Kalau kita tidak mau terus menerus
belajar dari hidup yang terus berkembang dan berubah ini, besar kemungkinan
pemahaman moral kita menjadi statis, dogmatis, dan sebenarnya tidak sesuai lagi
dengan kenyataan yang ada. Kesediaan untuk mau terus belajar juga mengandaikan
adanya sikap rendah hati untuk rela bertanya pada mereka yang dianggap lebih
kompeten atau ahli, dan pada mereka yang lebih berpengalaman. Karena kebaruan
dan kompleksitas permasalahan kadangkala kita harus mengakui bahwa kita belum
sepenuhnya memahami seluk-beluknya, sehingga tidak bijaksana untuk menilai dan
mengambil keputusan begitu saja tanpa sebelumnya memperoleh informasi dan
penjelasan dari mereka yang lebih tahu.
Berkenaan
dengan dimensi afektif, pendidikan suara hati bermaksud menumbuhkan citarasa
moral atau kepekaan hati terhadap apa yang memang baik atau secara objektif
bernilai, apa yang pantas dicita-citakan dalam hidup dan apa jahat atau apa
yang perlu dihindarkan. Pengembangan dimensi afektif mengandaikan adanya
pengalaman menyaksikan sendiri bagaimana nilai-nilai dan sikap-sikap moral yang
pantas dicita-citakan itu dihayati dan ditampilkan oleh figur-figur model yang
berpengaruh dan pantas diteladani. Penularan sikap dan citarasa moral selain
mengandaikan adanya keteladanan, juga mengandaikan adanya suasana hubungan
antar-pribadi yang dijiwai semangat kasih. Orang merasa dididik dan
dikembangkan pribadinya, bukan pertama-tama karena diberitahu ini dan itu,
tetapi karena ditarik oleh pesona keteladanan pendidiknya. Keutamaan moral
tidak lagi menjadi suatu yang abstrak tetapi konkret diejawantahkan dalam
pribadi-pribadi yang hidup dan dapat dijumpai. Dalam kaitan dengan ini biografi
tokoh-tokoh moral ideal dan kisah-kisah kepahlawanan para pejuang moral dapat
berperan positif.
Dalam
dimensi konatif, pendidikan moral bermaksud membangun kehendak atau tekad
moral. Ada kemungkinan bahwa sikap dan kesadaran moral kita dalam situasi
konkret menjadi bengkok (atau tidak lagi tepat), bukan hanya karena pengetahuan
dan pemahaman kita yang kurang atau keliru, melainkan karena kehendak kita
tidak kuat. Orang yang kehendaknya tidak kuat mudah jatuh ke dalam godaan untuk
tidak melaksanakan apa yang secara kognitif dipahami dan bahkan diyakininya
sebagai benar. Bahwasanya seseorang tahu yang baik dan benar belum dengan
sendirinya menjamin bahwa yang baik dan benar itu juga ia wujudkan dalam
tindakan. Orang dapat jatuh ke dalam apa yang oleh Aristoteles disebut akrasia
(kelemahan kehendak). Kalau orang tidak melatih kehendaknya, sedemikian rupa
sehingga ia memiliki tekad moral yang kuat, maka dapat terjadi bahwa kepekaan
dan ketepatan penilaian suara hatinya dibengkokkan oleh nafsu dan dorongan
perasaannya yang tidak teratur.
Dalam
dimensi pembiasaan berbuat baik, dimensi kognitif, affektif maupun konatif di
atas dipadukan. Kepekaan dan ketepatan penilaian suara hati akan berkembang
kalau kita dibiasakan melakukan yang kita fahami dan yakini sebagai
baik. Keutamaan-keutamaan moral tumbuh berkat pembiasaan bertindak baik. Usaha
pembentukan tekad moral hanya akan berhasil kalau melibatkan dimensi latihan
dan pembiasaan. Memang pembiasaan untuk bertindak baik saja, tanpa disertai
sikap kritis yang dapat ditumbuhkan berkat pengembangan dimensi kognitif, akan
kurang memadai. Demikian juga pelatihan yang melulu bersifat pengulangan secara
paksa, walaupun barangkalai akan dapat menumbuhkan instink moral yang
diharapkan, namun tanpa tmbuhnya kerelaan hati, akan tidak bisa bertahan lama.
6.
Rasionalitas Suara Hati
Di
atas sudah dikemukakan bahwa sebagai suatu kesadaran moral manusia dalam
situasi konkret, suara hati mengandaikan adanya pertimbangan akalbudi, dan
bukan sekedar ungkapan perasaan spontan belaka. Benar-salahnya suara hati dalam
menilai situasi secara moral dan menegaskan keputusannya, merupakan suatu
tindakan yang dapat dipertanggungjawabkan secara rasional. Dengan pernyataan
ini maka di sini ditolak pandangan aliran pemikiran yang disebut Emotivisme
Moral, yakni pandangan yang berpendapat bahwa penilaian moral pada hakikatnya
hanya merupakan masalah perasaan (emotion) belaka; dan karena perasaan
selalu bersifat subjektif, maka penilaian moral juga tidak mungkin ditentukan
benar-salahnya secara objektif.
Bagi
kaum Emotivis seperti A. J. Ayer (sebagaimana terungkap dalam bukunya yang
berjudul Language, Truth, and Logic) misalnya, penilaian dan putusan
moral kerap kali berfungsi sebagai ungkapan perasaan pribadi si penilai dan
pada hakikatnya tidak lebih dari itu. Kalau seseorang menyatakan bahwa aborsi
itu jahat, misalnya, ia tidak mengatakan apa-apa mengenai benar-salahnya
pernyataam tersebut, melainkan hanya mengungkapkan perasaan pribadinya yang
tidak senang terhadap aborsi atau tidak dapat menyetujuinya. Sedangkan bagi
C.L. Stevenson (dalam bukunya yang berjudul Ethics and Language),
penilaian dan putusan moral lebih mengungkapkan sikap (attitude) si
pembicara daripada keyakinannya (belief), lebih bersifat emotif daripada
deskriptif. Penilaian moral tidak bermaksud untuk menambah atau mengubah
keyakinan orang yang diajak bicara atau berkomunikasi, tetapi untuk
mempengaruhi sikapnya atau membangkitkan perasaan tertentu dalam dirinya.
Pandangan
kaum Emotivis tersebut mengumandangkan kembali pendapat David Hume tentang
cacat dan keutamaan, atau tentang kejahatan dan kebaikan yang dinyatakan dalam
bukunya Treatise of Human Nature. Dalam buku tersebut antara lain ia
mengemukakan gagasannya bahwa cacat dan keutamaan, kejahatan dan kebaikan bukanlah
sesuatu yang bersifat faktual (matters of fact) atau sesuatu yang adanya
dapat dibuktikan secara rasional, melainkan melulu suatu ungkapan atau
pengobjekan (object-ivocation) perasaan setuju atau tidak setuju, suatu
perasaan yang timbul dalam diri kita sewaktu kita secara spontan bereaksi
terhadap suatu perbuatan. Ia menantang pembacanya untuk memeriksa secara
saksama apakah memang ada kenyataan objektif faktual dari kejahatan dalam
tindakan yang disebut jahat, seperti pembunuhan yang disengaja misalnya. Ia
berkeyakinan bahwa dari sudut mana saja kita memeriksa tindakan tersebut, yang
kita temukan hanyalah hasrat, motif, keinginan, dan pemikiran si pembunuh, dan
tidak ada fakta lain. Selama kita mengamati objek tindakannya dan bukan subjek
atau pelaku tindakannya sendiri, tak pernah akan kita temukan yang disebut
kejahatan atau kebaikan. Bagi Hume, seperti halnya kualitas sekunder pada
benda-benda (y.i. warna, bau, rasa) tergantung pada subjek pengamat, demikian
pula jahat dan baik itu bukan suatu kualitas yang secara objektif melekat pada
tindakan-tindakan tertentu, melainkan suatu kualifikasi yang secara subjektif
dilekatkan pada jenis tindakan tertentu.
Pendapat
kaum Emotivis pantas ditolak, karena dua alasan berikut: Pertama, seandainya
betul bahwa penilaian dan putusan moral itu hanyalah ungkapan perasaan belaka,
maka tidak masuk akal mengapa orang sering memperdebatkannya. Bukankah mengenai
perasaan orang kita tidak dapat memperdebatkannya? Bahwasanya tahu bacem manis
dengan cabe rawit yang masih segar itu terasa enak bagi saya, misalnya, tidak
dapat dan tidak perlu orang membantahnya. Kenyataan bahwa bagi orang lain
makanan tersebut sama sekali tidak terasa enak, itu mungkin memang pengalaman
dia, tetapi tidak mengurangi kebenaran faktual bahwa saya merasakannya sebagai
enak. Mengenai hal ini ada ucapan klasik dalam bahasa Latin yang berbunyi: de
digustibus non est disputandum (mengenai selera tidak dapat diperdebatkan).
Halnya
amat berbeda misalnya kalau saya menyatakan bahwa tindakan menggugurkan kandungan
untuk menutupi aib keluarga secara moral tidak dapat dibenarkan. Pernyataan ini
tidak hanya sekedar mengungkapkan perasaan saya yang tidak menyetujui adanya
pengguguran yang disengaja, tetapi memang dapat ditegaskan benar-salahnya.
Berhadapan dengan pernyataan semacam itu orang merasa perlu untuk menegaskan
pendapatnya, yakni menyetujuinya sebagai pernyataan yang benar atau menolak dan
membantahnya karena dianggap salah. Demikianlah benar dan salahnya pernyataan
tersebut bukan hanya masalah perasaan atau bahkan selera orang. Orang biasanya
dengan serius memperdebatkannya justru karena benar-salahnya pernyataan
tersebut dapat ditegaskan. Terhadap pernyataan moral semacam itu orang tidak
dapat acuh tak acuh saja, tetapi merasa ditantang untuk menegaskan apakah
pernyataan itu benar atau salah; kalau benar ia terima, sedangkan kalau salah
ia tolak. Meskipun kadang tidak begitu jelas mana yang sungguh benar dan mana
yang sungguh salah, namun orang meyakini bahwa salah satu pasti salah dan tidak
dapat kedua-duanya benar. Hal ini membuktikan bahwa penilaian moral tidak hanya
menyangkut masalah perasaan atau selera orang yang menilainya, tetapi ada
sesuatu yang penting yang dipertaruhkan, dan kepentingannya dapat dijelaskan
secara rasional.
Alasan
kedua adalah berkenaan dengan kekeliruan kaum Emotivis dalam mengerti konsep
rasionalitas, objektivitas kebenaran moral dan subjektivitas penilaian. Konsep
rasionalitas yang melatarbelakangi faham Emotivisme moral adalah rasionalitas
ilmiah (scientific rationality), yakni pandangan yang menyatakan bahwa
hanya pernyataan yang dapat ditegaskan benar-salahnya secara ilmiah merupakan
pernyataan yang rasional. Hal ini menjadi nyata dalam konsepnya tentang
objektivitas kebenaran, yakni konsep yang menyatakan bahwa sesuatu itu objektif
benar hanya kalau kebenarannya dapat dibuktikan secara ilmiah, dan ilmiah di
sini dimengerti secara positivistik, yakni dapat diamati secara impersonal dan
bebas-nilai. Konsep inilah yang melatarbelakangi penolakan mereka terhadap
objektivitas kebenaran moral. Pernyataan moral bagi mereka hanyalah ungkapan
perasaan, selalu hanya bersifat subjektif dan tidak dapat ditegaskan
benar-salahnya. Buktinya, menurut mereka, adalah bahwa dalam penilaian moral
orang tidak pernah sampai ke kesamaan pendapat.
Kenyataan
bahwa dalam hal penilaian moral orang tidak mudah sampai ke kesamaan pendapat,
tidak membuktikan bahwa pernyataan moral itu memang hanya bersifat subjektif
dan tidak pernah dapat ditentukan benar-salahnya secara objektif. Konsep
objektivitas kebenaran kaum Emotivis terlalu sempit didasarkan atas argumentasi
empirisme positivistik, yakni atas dasar dapat tidaknya diuji kebenarannya
berdasarkan pengamatan inderawi sebagaimana dilakukan dalam fisika, kimia,
biologi atau ilmu-ilmu kealaman. Tetapi dewasa ini (Lih. misalnya apa yang
dikemukakan oleh Thomas Kuhn dalam bukunya yang terkenal The Structure of
Scientific Revolutions) konsep objektivitas kebenaran atas dasar
argumentasi empirisme positivistik dalam dunia fisika dan ilmu-ilmu kealaman
pada umumnya pun sudah ditinggalkan, karena dipandang tidak memadai. Maka hal
tersebut jauh lebih tidak memadai lagi kalau dipakai untuk mengukur
objektivitas kebenaran moral.
Halangan
lain yang menyebabkan kaum Emotivis menolak rasionalitas pernyataan moral atau
kemungkinan adanya objektivitas kebenaran pernyataan moral, adalah kegagalan
mereka untuk memahami bahwa pengetahuan tidak dengan sendirinya melulu bersifat
subjektif atau tidak mengandung objektivitas kebenaran hanya karena tidak dapat
dibuktikan kebenarannya secara impersonal atau lepas samasekali dari
keterlibatan subjek. Tidak ada pengetahuan, bahkan termasuk pengetahuan yang
diberikan oleh ilmu-ilmu kealaman, yang melulu bersifat objektif dan impersonal
atau samasekali lepas dari keterlibatan subjek. Setiap pengetahuan selalu
bersifat objektif-subjektif, artinya selalu merupakan hasil relasi dialektis
antara subjek yang menge-tahuinya dengan objek yang diketahui. Tidak setiap
keterlibatan subjek dalam proses mengetahui menghilangkan objektivitas kebe-naran
pengetahuan yang diperolehnya. Objektivitas perlu lebih dimengerti sebagai ciri
pengetahuan dan pengalaman yang dapat diuji kebenarannya secara intersubjektif
dan bukan secara im-personal atau sama sekali lepas dari keterlibatan subjek.
Dalam hal
moral, kalau suara hati dinyatakan sebagai memiliki kebenaran objektif sebagai
ciri rasionalitasnya, hal dapat diuji kebenarannya secara intersubjektif
berarti bahwa apa yang disadari sebagai kewajiban moral dalam situasi konkret
itu dapat dinyatakan sebagai suatu yang didasarkan atas prinsip yang berlaku
umum. Ini tidak berarti bahwa setiap orang senyatanya akan menilai dan
mengambil keputusan yang persis sama, tetapi bahwa seharusnya setiap
orang yang berada dalam situasi yang sama akan sependapat dengan penilaian dan
pengambilan keputusan tersebut. Dengan perkataan lain, apa yang dalam suara
hati disadari oleh seseorang sebagai kewajibannya, merupakan kewajiban bagi
siapa saja yang berada dalam situasi yang kurang lebih sama dengan situasi
tersebut.
Komentar
Posting Komentar